Skip to navigation Skip to navigation Skip to search form Skip to login form Skip to footer Skip to main content

Blog entry by Hasan Basri

Menyusuri Jejak Nabi di Makkah dan Madinah: Sebuah Perjalanan Hati ke Haramain
Menyusuri Jejak Nabi di Makkah dan Madinah: Sebuah Perjalanan Hati ke Haramain

Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata ketika pertama kali mendengar kata Haramain — dua kota suci umat Islam: Makkah dan Madinah. Bagi banyak orang, Haramain bukan sekadar destinasi religi, tapi juga panggilan jiwa. Kisah ini bermula dari seorang anak muda bernama Fikri, 25 tahun, generasi Gen Z yang biasanya sibuk dengan dunia digital, tapi hatinya terpanggil untuk menapaki perjalanan spiritual ke Tanah Suci.

Langkah Awal: Panggilan dari Madinah

Bagi Fikri, Madinah adalah tempat yang ia impikan sejak lama. Ketika pesawatnya mendarat di Bandara Prince Mohammad bin Abdulaziz, udara hangat menyambut dengan kelembutan yang sulit dilupakan. Suasana kota yang tenang, ditambah keramahan penduduknya, membuat hati terasa damai. Di sini, ia merasakan energi cinta dan ketenangan luar biasa di Masjid Nabawi, tempat suci yang menjadi pusat doa dan zikir.

Setiap langkah di pelataran Masjid Nabawi terasa seperti menyentuh sejarah. Fikri berziarah ke makam Rasulullah ﷺ, menangis lirih di Raudhah, tempat yang disebut sebagai taman surga. Ia menyadari, perjalanan ini bukan tentang foto atau konten media sosial, tapi tentang menyentuh kedalaman makna kehidupan yang sejati di Haramain.

Makkah: Puncak Rindu dan Doa

Dari Madinah, perjalanan berlanjut ke Makkah. Saat bus melewati padang pasir menuju kota suci ini, hati Fikri semakin berdebar. Begitu melihat Ka'bah untuk pertama kalinya, air mata menetes tanpa bisa ditahan. Ia tak menyangka, dirinya yang dulu sibuk mengejar dunia digital kini berdiri di depan simbol kesucian umat Islam, penuh rasa syukur.

Tawaf di sekitar Ka'bah terasa seperti perjalanan batin. Setiap putaran membawa Fikri pada refleksi diri — tentang waktu, tentang hidup, tentang cinta kepada Allah سبحانه وتعالى. Dalam keheningan malam di Masjidil Haram, ia menatap Ka'bah lama-lama, seolah semua doa dan harapan tumpah di hadapan Sang Pencipta.

Haramain dan Spirit Generasi Baru

Menariknya, Fikri bukan satu-satunya anak muda di rombongan. Ada banyak generasi Gen Z lain yang memilih meninggalkan hiruk-pikuk dunia untuk mencari kedamaian di Haramain. Mereka bukan hanya ingin “beribadah,” tapi juga ingin “menemukan diri sendiri.”
Di sela ibadah, mereka berbagi cerita: tentang karier, tentang cinta, dan tentang bagaimana perjalanan ini mengubah cara pandang mereka terhadap hidup.

Bagi mereka, Haramain adalah tempat belajar arti kesederhanaan. Di tengah keramaian, mereka justru menemukan keheningan batin. Di tengah panasnya padang pasir, mereka menemukan kesejukan iman.

Transformasi Jiwa di Dua Kota Suci

Fikri menyadari, perjalanan ke Haramain bukan hanya ritual, tapi transformasi. Ia pulang dengan hati yang lebih tenang, pikiran yang lebih jernih, dan tekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Makkah dan Madinah mengajarkan bahwa kedamaian sejati bukan datang dari harta atau popularitas, tapi dari dekatnya hubungan dengan Allah سبحانه وتعالى.

Kini, setiap kali ia melihat foto Ka'bah di ponselnya, Fikri tersenyum. “Aku ingin kembali,” gumamnya pelan. Karena Haramain bukan tempat yang hanya dikunjungi sekali — melainkan tempat yang selalu memanggil pulang.

Menutup Perjalanan, Membuka Panggilan Baru

Kisah Fikri hanyalah satu dari jutaan cerita tentang Haramain. Di balik keagungan Makkah dan kelembutan Madinah, ada ribuan hati yang kembali menemukan makna hidup.
Dan bagi siapa pun yang pernah datang ke sana, satu hal pasti — kerinduan itu tak akan pernah padam.

Haramain bukan sekadar dua kota, tapi dua pintu menuju kedamaian abadi.
Bagi Fikri dan jutaan umat Muslim di seluruh dunia, Haramain adalah rumah spiritual yang selalu dirindukan.
Dan setiap panggilan hati untuk kembali ke Haramain adalah tanda bahwa cinta Ilahi selalu hidup di dada orang-orang beriman.


  
Scroll to top